Kiat Mendidik Anak ala Nurmahmudi Ismail

Beberapa waktu lalu, sebelum pelaksanaan Pilkada, saya berkesempatan mewawancarai Pak Nurmahmudi Ismail, yang kini terpilih sebagai Walikota Depok. Ini adalah dalam rangka menjalankan tugas dari sebuah penerbitan yang hendak menulis biografi mantan Menteri Kehutanan ini.

Karena yang ditulis adalah biografi, maka pertanyaan saya mencakup semua aspek, mulai dari masalah pribadi hingga pandangan beliau tentang politik, dan sebagainya.

Ada sebuah pertanyaan standar yang saya ajukan ketika itu, "Apa Bapak punya kiat khusus dalam mendidik anak?" Hm, sebuah pertanyaan yang amat standar, kan? Karena itu, saya menanyakannya dengan sikap yang biasa-biasa saja, jauh dari antusias. Saya pikir, kalau wawancara ini bukan dalam rangka menulis biografi, saya akan malas mengajukan pertanyaan itu.

Lantas, sebelum beliau menjawab, saya pun sempat berpikir yang macam-macam. Ah, paling dia memberikan jawaban yang standar juga, pikir saya. Mungkin dia akan menjawab, 'Saya mendidik anak dengan keteladanan', atau 'Saya tidak mengatur cita-cia anak. Biarkan mereka yang tentukan sendiri. Orang tua tinggal mengarahkan.' Dan seterusnya dan seterusnya.

Namun, ketika jawaban demi jawaban mengalir dari mulut Pak Nur (demikian ia biasa dipanggil), saya terkesima. Saya seketika sadar bahwa berburuk sangka itu memang tidak baik. Pak Nur menjelaskan metode pendidikan anak yang unik, menarik, dan belum pernah saya dengar sebelumnya.

Berikut adalah cuplikan jawaban beliau, yang saya tulis ulang dengan kalimat sendiri.

Saya melatih anak-anak untuk mengungkapkan buah pikiran dan perasaan secara verbal, melalui praktek langsung. Sebagai misal, si anak saya suruh bertandang ke rumah pakliknya di Blitar yang memiliki kandang ayam petelor. Selama berada di sana, mereka harus membuat laporan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan ternak ayam tersebut, seperti proses pemeliharaannya, penjualannya, pemberian makanan, dan sebagainya. Dengan cara seperti ini, mereka akan terlatih untuk bertanya tentang apa saja dan menyusun laporan atas kejadian-kejadian yang mereka alami. Dan semua ini disampaikan dalam suasana yang akrab, sambil bercanda dan bercengkerama. Kalau laporannya jelek, itu tidak masalah. Yang penting adalah latihannya. Hal-hal seperti ini diharapkan dapat mengembangkan kecerdasan emosional mereka.

Sejak dini, anak-anak juga sudah saya didik untuk hidup mandiri dan mengenal realitas dunia yang sebenarnya. Pada waktu libur, mereka saya suruh bekerja magang di perusahaan tertentu. Misalnya, salah seorang anak saya pernah menginap di kantor Penerbit Asy Syaamil di Bandung. Dia melihat proses penerbitan dan percetakan secara langsung. Hal-hal seperti ini akan mendidik mereka untuk memahami bahwa segala sesuatu di dunia itu tidak datang dengan sendirinya. Ia akan melalui proses tertentu yang membutuhkan perjuangan keras, menghadapi banyak kendala, dan sebagainya. Dalam waktu dekat, saya juga berencana menempatkan anak saya menjadi kasir di swalayan, tapi belum tercapai.

Sistem nilai yang kita ajarkan pada anak, lebih sering bertentangan dengan budaya yang berlaku di masyarakat. Tayangan TV misalnya, banyak yang berpotensi merusak dan sama sekali tidak mendidik. Ini menjadi masalah jika anak-anak kita menyenangi acara-acara tersebut.

Apakah saya khawatir akan hal ini? Secara jujur, ya. Namun saya tidak serta merta melarang mereka menonton TV dan mengatakan TV itu haram. Sama sekali tidak. Saya tahu bahwa ada juga acara TV yang baik, seperti siaran berita, pertandingan olah raga, dan sebagainya. Maka, daripada melarang dan menjauhkan anak dari TV, saya memilih menempuh jalur dialog dan memberikan pemahaman. Untuk acara TV yang baik, saya ajak mereka menontonnya dan bicara tentang hal-hal bermanfaat dari acara-acara tersebut. Setelah menonton siaran berita misalnya, saya mengajak mereka berdiskusi mengenai informasi-informasi yang baru saja disiarkan. Dengan cara seperti ini, mereka akan terlatih untuk menyenangi siaran berita dan acara-acara TV lainnya yang bermanfaat. Sedangkan untuk acara-acara yang tidak baik, saya menunjukkan bagian mana saja dari acara tersebut yang berpotensi merusak dan tidak mendidik. Lalu secara perlahan saya mengajak mereka untuk tidak menonton acara tersebut. Jika suatu saat ketahuan menonton, saya segera menegur dengan cara yang halus dan akrab.

* * *

Nah, benar-benar sebuah kiat yang menarik, kan? Saya benar-benar salut mendengarnya. Satu hal yang saya sukai dari cara Pak Nur menjawab pertanyaan wawancara, dia selalu bertutur dengan bahasa yang umum dan universal, tidak membawa-bawa simbol-simbol agama. Padahal kita tahu, dia termasuk orang yang wawasan dan pengetahuan agamanya sangat tinggi. Ini membuat siapa saja, dari golongan mana saja, akan senang mendengarkan ucapan beliau.

Setelah mendengar penuturan beliau tentang kiat mendidik anak, saya meresapinya dengan sungguh-sungguh. Diam-diam saya berjanji untuk meneladani beliau dalam mendidik anak-anak saya kelak.


Jonru

(bahan diambil dari hasil wawancara eksklusif dengan Pak Nurmahmudi Ismail)

Comments :

1
jack said...
on 

Cheap Coach Purses are offered right here on the Internet for much reduce prices than retail prices. Have you been wishing you could give real coach purse? So have hundreds if not millions of other estimate conscience people out there who want to have the luxury of owning valid coach bag without the true outlay.